Ini awal bulan dan aku sudah melihat sebagian dari mereka berbicara tentang masahal
eksistensialis diri sebagaimana itu adalah agama yang sedang mereka jalani. Membawa
buku kemana saja dengan lagak pintarnya yang luar biasa terlihat jelas kalau
sedang menipu. Aku lupa akan banyak hal, ya aku masih sampai tahap Ide dana
meterialisme aristotle dan plato tapi tak sanggup aku membincarakan pemikiran
mao atau marx. Aku bukan fans dan aku bukanlah mereka, aku hanya bingung ingin
membahas apa, seperti halnya kau bingung aku sedang apa dan tulisan ini akan
merujuk kemana, dunia memang berputar tapi aku merasa diam dan ikut beputar,
tapi, mereka juga tetap sama saja berputar.
Ah mulai lagi aku menarik diri ke arah hal negatif dari
dalam diriku. Orang kaku dan hidupnya yang gak ada menariknya untuk di bahas,
hanya kisah kelam dan berbagai macam cara supaya bisa bersosialisasi dengan
manusia luar. Apabila ini adalah avidya
dari dalam diriku yang sudah merusak susunan braman maka atman yang kumiliki ini cacat tapi dengan rupa yang
bisa dikatakan sempurna.ya, memang susah menjadi diriku yang muali saja sudah
susah tapi apabila sudah di jalan lancar jaya. Aku hanyalah manusia tanpa
ekspresi di dalam teks tapi penuh kejutan saat tatap muka –setidaknya ada yang
bilang seperti itu. Mari kembali kepada fase pesimis saya ketika dan setelah
saya mengalami bahwa nihilisme ternyata hanya mengantar saya balik pada titik
ini kembali. Tak ada yang perlu di renungkan kecuali pikiran-pikiran aneh yang
menghubungkan keburukan yang akan terjadi setelah mendapatkan informasi.
Aku gelisah dan resah
setiap saat, aku mual ketika aku sedang beban dan aku merasa bahwa mulutku yang
tak ada filternya ini sudah melukai orang. Melukai diri dengan menyadari bahwa
aku banyak yang kurang sehingga dirinya yang lebih sempurna selalu saja
menutupi gerak-gerik tapi permasalahnya aku ini (si)APA? Yang membentuk diriku
menjadi aku yang menjadikan perubahan pikiran tetap menandakan bahwa ini aku
saja aku masih bingung. Ya tuhan dan dirinya para penjaga sorga sudah datang
kepadaku memukuliku tapi aku masih bersikukuh untuk pergi keneraka karena aku
tak pantas. Karena dari cara mereka membalas aku hanyalah seonggok daging yang
mencoba menjadi kulit dan dirinya adalah daging dan kulit yang sudah saling
melekat.
Mereka bilang, yang penting mencoba, tapi mereka lupa, Gagal
sama saja dengan Gagal. Tak pernah ada reward lebih pada orang gagal, dan
pilihanya kemabli disini cuman ada 2, tak ada hasil atau mencoba. Banyak yang
aku inginn rasakan pada halnya manusia sosial normal dengan bercandaanya via
chat maupun obrolan biasa, tingkat absurditas yang luaar biasa tapi apa daya
aku ini hanya manusia kaku. Selalu bicara seperlunya, sebagaimana caranya aku
terdidik dengan perubahan apakah aku tetap menjadi aku yang autentik, sehingga
kalimat “jadi dirimu sendiri aja” masih relevan dalam kehidupan bersosial?
Aku mengerti bagaimana kisah-puisi seseorang dengan cintanya
yang menye lewat wordpress nya hanyalah segelintir lalat di mangkuk makan
siang. Sedangan cintaku yang selalu kuhubungkan dengan genre music pop-punk
hanyalah kecoak di sepring tai kucing. Tak ada yang salah dan ya, pemameran
kesedihan akan pengalaman memang lebuh menarik ketimbang aku berbicara tentang
cacatnya seorang pribadi ini. Pengalamnku tak hancur serta tak redam dan aku
hanyalah figuran di situ dan enatah kenapa aku yang tersakiti dan aku yang
dikulit dan aku yang menjadi-jadi sehingga aku hanya merasa aku ketika aku
sudah tak berpikir di dalam tidur.
Aku mencoba optimis sehingga aku tak merasakan banyak hal
tapi kadang aku menyadari suatu hal, bahwa apa yang aku rasakan itu adalah
sebuah hal yang menjadikan pribadi ini autentik, aku sebagaimana aku dan
sekarang apakah kembalinya ke pesimis ini aku menjadi aku?
0 comments:
Posting Komentar