Kamis, 09 Juni 2016

Ma Ominion : Sebuah pergerakan idola

Sebuah quote yang membuat saya sadar tentang keberadaan kekuatan dari komunitas adalah “tumbuh berkembang bersama fans” sangat sepele memang tetapi makna di balik itu adalah suatu hal yang besar dalam dunia idol. Makna yang tersurat secara bahasa tetapi menyimpan banyak hal apabila direnungkan jikalau anda memiliki waktu luang. Makna tersebut membuat para penggemar merasa menjadi bagian penting dari “organisasi” tersebut (bagi yang mau).

Sebelum membahas lebih lanjut mari saya jabarkan definisi dari apa itu Idol. Idol (アイドル/aidoru) adalah bintang muda yang dididik sejak usia dini untuk menjadi seseorang yang bisa diidolakan yang secara mayoritas diidolakan karena keimutanya. Idol sendiri memang di targetkan menjadi role model masyarakat khusunya para penikmatnya dimana idol  harus memiliki imej masyarakat yang baik serta menjadi teladan kepada para penggemar yang masih muda. Idol sendiri mengincar peran yang banyak di dalam media Jepang yang disebut tarento (dari serapan bahasa inggris talent) sebagai Media Personality seperti penyanyi solo atau grup, panelis dalam program televisi, dan model majalah atau iklan. (Hiroshi Aoyagi, 2005). Sedangkan Guy de Laney mengatakan “ketika orang memikirkan idol pop, semua tertuju pada gadis (ataupun lelaki) yang sangat ‘unyu’ dengan kemampuan bermusik yang sangat minim.” Pernyataan tersebut semakin didukung melalui penjelasan dari Mark Schilling yakni dengan mendefiniskan idol sebagai “penyanyi yang di didik dan di pantau dengan packanging oleh agensi sejak kecil dan record companies walaupun kemampuan membawakan lagu sangatlah kurang tetapi penampilan dan personalitas (gimmick) adalah suatu hal yang lebih penting.”

Idol sendiri juga bergantung pada fansnya secara besar-besaran. Marketing idol sendiri juga bergantung pada sikap “support”  fans yang diuji untuk selalu setia mendukung dengan cara membeli barang sepeti single dengan cara memberikan semacam penghargaan kepada fans seperti acara salaman dengan member atau jalan-jalan naik bis keliling kota. Nyaris semua hal yang di lakuan dengan fans (Komunitas) akan selalu tentang pemanjaan atau pendekatan diri dengan fans.

Fans selalu menjadi kendala apabila tidak pernah memberikan bantuan secara finansial, bukan bermaksud naif tapi finansial adalah hal yang vital.  Mungkin idol bisa mencari endorsment dari sebuah brand stasiun televisi atau minuman dengan rasa garam, tetapi apabila tidak memiliki fans dengan jumlah yang “segitu” untuk apa? Tetapi apakah fans harus memberikan bantuan finansial? Tidak! Dengan konsep idol dengan artian manajamen berani menerapkan sikap idealis yang di terapakan dari awal, saya kira finansial tidak menjadi masalah apabila idol sendiri memiliki Ide sebagai penghibur bukan sebagai hiburan. Tidak mencari keuntungan secara terang-terangan ataupun terselubung tetapi yang penting hanya tampil dan tampil, hidup berdasarkan tabungan dari sisa biaya segala macam yang selalu press akan menjadi kendala juga, tetapi itu adalah suatu hal yang patut diapresiasi kehebatan dalam penerapan idealis manajemen, tetapi idealis tak bisa dipisahkan dengan aliran idealisme , itu hanya sebuah IDE. Berbeda apbila menggunakan sikap manajemen yang berpikiran materialis dimana secara garis besar sendiri akan bersikap “yang penting perform apa yang kita suka, intinya hanya Perform dan perform dan perform, tanpa gimmick atau banyak macamnya, yang penting pertunjukan atas panggung.”

Mengambil pertunjukan idol yang selalu mengedepankan estetika fisik member, menimbulkan pertanyaan apabila seni penampilan mereka hanya sekedar estetika fisik?  Saya bisa menjawabnya “bisa jadi.” Dikarenakan popularitas idol dengan jumlah member banyak dengan muka yang menarik dan nyange-in akan selalu berakhir dengan jawaban “Bisa”. Apabila seni berdasarkan estetika gerak dan koreo maka muka tak akan pernah menjadi permasalahan, yang penting dance skill and stuff-lah . Kebebasan member idol yang selalu me-waro-lah yang selalu mendapatkan dan menarik fans. Ini bukan masalah membentuk idol baru dan membukanya dengan acara besar-besaran di pusat perbelanjaan atau show setiap hari di sebuah ruang, tetapi masalah menunjukkan eksitensi sebagai manusia yang sadar bahwa para idol ini berada di dunia idol. Terkesan sepele memang untuk membentuk kesadaran yang bisa menjadikan kerja profesionalitas menjadi lebih matang, dengan kesadaran bahwa dirinya sekarang adalah idol akan menjadikan sikap berbeda di atas panggung menjadi lebih asik dengan artian penggunangan gimmick yang lebih baik lagi. Terlalu lekat dengan gimmick ketika menjadi idol akan menjadi masalah ketika para idol tidak sadar bahwa diri mereka berada di dunia idol.

Membahas idol dalam bahasa indonesia yang pasti akan dibaca oleh mayoritas bahasa indonesia terkesan sia-sia dan tak berguna dimana pasar idol sendiri sedang berkembang. Conditional state tersebut karena idol “pertama” baru muncul di indonesia tahun 2011 (tak usah saya sebut kalian dah ngerti, kalau gak ngerti ya saya sebut JKT48). Membuka sub-pasar pada waktu itu dan mereka satu-satunya yang ber major-management (management nya gede maksudnya, term asik yang saya pakai) sehingga mereka terkesan memonopili Sub-pasar tersebut dan mengatur selera. Tetapi yang namanya selera pribadi tak bisa di kontrol oleh kaum kapitalis (ciah gitu) sehingga sub-pasar ini berkembang ke arah Idol Group menjadi cover idol group juga yang dimana sebagai proses awal menuju menjadi idol. Banyak yang lalu mencoba mengikuti “pertama” dengan big announcement dari major-management lalu tak berakhir “langgeng” dengan sub-pasar dikarenakan kesadarana bahwa sub-pasar sendiri berawal mengandalkan kekuatan dari komunitas, semakin mereka memegang selera sebuah komunitas maka hasilnya mereka bisa ke jepang dan membawakan lagu mereka sendiri (walaupun yang kejepang masih ngover juga di sana, at least they sing the song).

Saya akan mengambil contoh pengalam empiris saya mengikuti dan mengamati pergerakan idol lokal di jogjakarta. Pada awalnya idol lokal menampilan lagu yang bernuansa 48-an, ketika komunitas mulai masuk dan mendekati dengan cara meminta membawakan lagu dari penampil lain. Pendekatan awal dari komunitas inilah yang membuat dunia sub-pasar semakin lebih menarik dan bervariasi. Meskipun demikian Monopoli terhadap sub-pasar masih terjadi apabila hanya ada satu idol lokal yang menonjol. Saingan baru pasti akan muncul tetapi keberlangsungan persaingan ini selalu di tentukan oleh komunitas.

Pergerakan melawan berawal komunitas mulai bergerak untuk membentuk kompetitor di dalam sub-pasar tersebut. Pergerakan yang berawal dan gencar dari bandung dan daerah lain juga mulai bergambung kedalam sub-pasar tersebut. Apabila di lihat dari sosial media memang yang punya teater sendiri unggul banyak, tetapi apabila kita melihat dan masuk kedalam komunitas banyak hal mulai terbuka tentang selera dan banyak macamnya.

Sekarang kita bisa mendapati perlawanan antara kapitalis dan sosialis. Kapitalis mulai gencar mengeksploitasi banyak macam hal dan para sosialis mulai mendekatkan diri kepada para komunitas. Bukan permasalah mana yang lebih populer atau lebih menguntungkan, para pencari hiburan juga butuh di hibur sebagaimana seorang penggemar ingin di waro maupun dihibur. Setiap minggu menghibur memang memberikan dampak yang lebih daripada menunggu event, menggaet fans dari luar pun tinggal datang ke teater yang disediakan dan tinggal di hibur tak perlu menunggu event. Tetapi dengan eksploitasi yang berasal dari peraturan untuk mendatangkan keuntungan sehingga kedekatan dengan komunitas juga terhambat mengakibatkan banyak hal, oke dengan bersalaman 10 detik mungkin bisa mengurangi tetapi bukan berarti idol bisa mengobrol bebas dan lepas dalam artian para member idol masih berada di gimmick bukan manusia yang mendengarkan. Meinggalkan gimmcik untuk mencapia komunitas juga bukan hal yang buruk tapi stay di gimmcik juga bukanlah hal yang baik pula.
Sekarang sub-pasar sudah tak terkontrol dengan gimmick, tapi kenyamana idol dengan komunitas, sebuah simbiosis mutualisme. Lagu yang easy listening bernada fun tapi bermakna posesif atau hal lainya juga sangat berpengaruh. Bukan masalah cantik dan tak cantik lagi tapi permasalahan penyesuaian selera dengan komunitas. Sub pasar sudah berubah, ini masalah adaptasi atau mati.


N.B: aku gak tau apa-apa ini semua hasil empiris-koheren dan cerita banyak orang, saya bukan pakar, saya hanya fans dan ini opini saya


3 komentar:

  1. In short term, aku setuju bruk, terbukti dari JKT yg makin limbung dan konser e ra payu. But in long term, ketoke cantik atau tidak cantik tetep akan menjadi kunci.

    Btw sebagai pembaca setia gurameh gunung dot blogspot sejak 2012, kualitas tulisanmu munggah drastis, salut.

    BalasHapus
  2. Overall nice bruk.
    Tapi nek pengenmu empiris, saranku pada pembahasan 'pergerakan sub-pasar idol/cover di tingkat akar rumput di daerah tertentu' paparkan ono idol/cover opo wae sing mampu membentuk pangsanya sendiri.

    Tabik!

    BalasHapus

Formulir Kontak