Kamis, 01 September 2016

Chapter September

Ini awal bulan dan aku sudah melihat sebagian dari mereka berbicara tentang masahal eksistensialis diri sebagaimana itu adalah agama yang sedang mereka jalani. Membawa buku kemana saja dengan lagak pintarnya yang luar biasa terlihat jelas kalau sedang menipu. Aku lupa akan banyak hal, ya aku masih sampai tahap Ide dana meterialisme aristotle dan plato tapi tak sanggup aku membincarakan pemikiran mao atau marx. Aku bukan fans dan aku bukanlah mereka, aku hanya bingung ingin membahas apa, seperti halnya kau bingung aku sedang apa dan tulisan ini akan merujuk kemana, dunia memang berputar tapi aku merasa diam dan ikut beputar, tapi, mereka juga tetap sama saja berputar.

Ah mulai lagi aku menarik diri ke arah hal negatif dari dalam diriku. Orang kaku dan hidupnya yang gak ada menariknya untuk di bahas, hanya kisah kelam dan berbagai macam cara supaya bisa bersosialisasi dengan manusia luar. Apabila ini adalah avidya dari dalam diriku yang sudah merusak susunan braman maka atman yang kumiliki ini cacat tapi dengan rupa yang bisa dikatakan sempurna.ya, memang susah menjadi diriku yang muali saja sudah susah tapi apabila sudah di jalan lancar jaya. Aku hanyalah manusia tanpa ekspresi di dalam teks tapi penuh kejutan saat tatap muka –setidaknya ada yang bilang seperti itu. Mari kembali kepada fase pesimis saya ketika dan setelah saya mengalami bahwa nihilisme ternyata hanya mengantar saya balik pada titik ini kembali. Tak ada yang perlu di renungkan kecuali pikiran-pikiran aneh yang menghubungkan keburukan yang akan terjadi setelah mendapatkan informasi.

Aku gelisah dan resah setiap saat, aku mual ketika aku sedang beban dan aku merasa bahwa mulutku yang tak ada filternya ini sudah melukai orang. Melukai diri dengan menyadari bahwa aku banyak yang kurang sehingga dirinya yang lebih sempurna selalu saja menutupi gerak-gerik tapi permasalahnya aku ini (si)APA? Yang membentuk diriku menjadi aku yang menjadikan perubahan pikiran tetap menandakan bahwa ini aku saja aku masih bingung. Ya tuhan dan dirinya para penjaga sorga sudah datang kepadaku memukuliku tapi aku masih bersikukuh untuk pergi keneraka karena aku tak pantas. Karena dari cara mereka membalas aku hanyalah seonggok daging yang mencoba menjadi kulit dan dirinya adalah daging dan kulit yang sudah saling melekat.

Mereka bilang, yang penting mencoba, tapi mereka lupa, Gagal sama saja dengan Gagal. Tak pernah ada reward lebih pada orang gagal, dan pilihanya kemabli disini cuman ada 2, tak ada hasil atau mencoba. Banyak yang aku inginn rasakan pada halnya manusia sosial normal dengan bercandaanya via chat maupun obrolan biasa, tingkat absurditas yang luaar biasa tapi apa daya aku ini hanya manusia kaku. Selalu bicara seperlunya, sebagaimana caranya aku terdidik dengan perubahan apakah aku tetap menjadi aku yang autentik, sehingga kalimat “jadi dirimu sendiri aja” masih relevan dalam kehidupan bersosial?

Aku mengerti bagaimana kisah-puisi seseorang dengan cintanya yang menye lewat wordpress nya hanyalah segelintir lalat di mangkuk makan siang. Sedangan cintaku yang selalu kuhubungkan dengan genre music pop-punk hanyalah kecoak di sepring tai kucing. Tak ada yang salah dan ya, pemameran kesedihan akan pengalaman memang lebuh menarik ketimbang aku berbicara tentang cacatnya seorang pribadi ini. Pengalamnku tak hancur serta tak redam dan aku hanyalah figuran di situ dan enatah kenapa aku yang tersakiti dan aku yang dikulit dan aku yang menjadi-jadi sehingga aku hanya merasa aku ketika aku sudah tak berpikir di dalam tidur.


Aku mencoba optimis sehingga aku tak merasakan banyak hal tapi kadang aku menyadari suatu hal, bahwa apa yang aku rasakan itu adalah sebuah hal yang menjadikan pribadi ini autentik, aku sebagaimana aku dan sekarang apakah kembalinya ke pesimis ini aku menjadi aku?

0 comments:

Posting Komentar

Formulir Kontak