Sebuah
quote yang membuat saya sadar tentang keberadaan kekuatan dari komunitas adalah
“tumbuh berkembang bersama fans” sangat sepele memang tetapi makna di balik itu
adalah suatu hal yang besar dalam dunia idol.
Makna yang tersurat secara bahasa tetapi menyimpan banyak hal apabila direnungkan
jikalau anda memiliki waktu luang. Makna tersebut membuat para penggemar merasa
menjadi bagian penting dari “organisasi” tersebut (bagi yang mau).
Sebelum membahas lebih lanjut mari saya jabarkan definisi dari apa
itu Idol. Idol (アイドル/aidoru) adalah bintang muda yang dididik sejak usia dini untuk
menjadi seseorang yang bisa diidolakan yang secara mayoritas diidolakan karena
keimutanya. Idol sendiri memang di
targetkan menjadi role model
masyarakat khusunya para penikmatnya dimana idol
harus memiliki imej masyarakat yang
baik serta menjadi teladan kepada para penggemar yang masih muda. Idol sendiri mengincar peran yang banyak
di dalam media Jepang yang disebut tarento
(dari serapan bahasa inggris talent) sebagai Media Personality seperti penyanyi solo atau grup, panelis dalam
program televisi, dan model majalah atau iklan. (Hiroshi Aoyagi, 2005). Sedangkan Guy de Laney
mengatakan “ketika orang memikirkan idol
pop, semua tertuju pada gadis (ataupun lelaki) yang sangat ‘unyu’ dengan
kemampuan bermusik yang sangat minim.” Pernyataan tersebut semakin didukung melalui
penjelasan dari Mark Schilling yakni dengan mendefiniskan idol sebagai “penyanyi yang di didik dan di pantau dengan packanging oleh agensi sejak kecil dan record companies walaupun kemampuan
membawakan lagu sangatlah kurang tetapi penampilan dan personalitas (gimmick)
adalah suatu hal yang lebih penting.”
Idol sendiri juga
bergantung pada fansnya secara besar-besaran. Marketing idol sendiri juga bergantung pada sikap “support” fans yang diuji
untuk selalu setia mendukung dengan cara membeli barang sepeti single dengan
cara memberikan semacam penghargaan kepada fans seperti acara salaman dengan
member atau jalan-jalan naik bis keliling kota. Nyaris semua hal yang di lakuan
dengan fans (Komunitas) akan selalu tentang pemanjaan atau pendekatan diri
dengan fans.
Fans
selalu menjadi kendala apabila tidak pernah memberikan bantuan secara
finansial, bukan bermaksud naif tapi finansial adalah hal yang vital.
Mungkin idol bisa mencari
endorsment dari sebuah brand stasiun televisi atau minuman dengan rasa garam,
tetapi apabila tidak memiliki fans dengan jumlah yang “segitu” untuk apa?
Tetapi apakah fans harus memberikan bantuan finansial? Tidak! Dengan konsep idol dengan artian manajamen berani
menerapkan sikap idealis yang di terapakan dari awal, saya kira finansial tidak
menjadi masalah apabila idol sendiri memiliki Ide sebagai penghibur bukan
sebagai hiburan. Tidak mencari keuntungan secara terang-terangan ataupun
terselubung tetapi yang penting hanya tampil dan tampil, hidup berdasarkan
tabungan dari sisa biaya segala macam yang selalu press akan menjadi kendala
juga, tetapi itu adalah suatu hal yang patut diapresiasi kehebatan dalam
penerapan idealis manajemen, tetapi idealis tak bisa dipisahkan dengan aliran
idealisme , itu hanya sebuah IDE. Berbeda apbila menggunakan sikap
manajemen yang berpikiran materialis dimana secara garis besar sendiri akan
bersikap “yang penting perform apa yang kita suka, intinya hanya Perform dan
perform dan perform, tanpa gimmick atau banyak macamnya, yang penting
pertunjukan atas panggung.”
Mengambil
pertunjukan idol yang selalu mengedepankan estetika fisik member, menimbulkan
pertanyaan apabila seni penampilan mereka hanya sekedar estetika fisik? Saya bisa menjawabnya “bisa jadi.” Dikarenakan
popularitas idol dengan jumlah member banyak dengan muka yang menarik dan
nyange-in akan selalu berakhir dengan jawaban “Bisa”. Apabila seni berdasarkan
estetika gerak dan koreo maka muka tak akan pernah menjadi permasalahan, yang
penting dance skill and
stuff-lah . Kebebasan member
idol yang selalu me-waro-lah yang selalu mendapatkan dan menarik fans. Ini
bukan masalah membentuk idol baru dan membukanya dengan acara besar-besaran di
pusat perbelanjaan atau show setiap hari di sebuah ruang, tetapi masalah
menunjukkan eksitensi sebagai manusia yang sadar bahwa para idol ini berada di dunia idol. Terkesan
sepele memang untuk membentuk kesadaran yang bisa menjadikan kerja
profesionalitas menjadi lebih matang, dengan kesadaran bahwa dirinya sekarang
adalah idol akan menjadikan sikap berbeda di atas
panggung menjadi lebih asik dengan artian penggunangan gimmick yang lebih baik
lagi. Terlalu lekat dengan gimmick ketika menjadi idol akan menjadi masalah ketika para idol tidak sadar bahwa diri
mereka berada di dunia idol.
Membahas
idol dalam bahasa indonesia yang pasti akan dibaca oleh mayoritas bahasa
indonesia terkesan sia-sia dan tak berguna dimana pasar idol sendiri sedang
berkembang. Conditional state tersebut karena idol “pertama” baru muncul di
indonesia tahun 2011 (tak usah saya sebut kalian dah ngerti, kalau gak ngerti
ya saya sebut JKT48). Membuka sub-pasar pada waktu itu dan mereka satu-satunya
yang ber major-management (management nya gede maksudnya, term asik yang saya
pakai) sehingga mereka terkesan memonopili Sub-pasar tersebut dan mengatur
selera. Tetapi yang namanya selera pribadi tak bisa di kontrol oleh kaum kapitalis
(ciah gitu) sehingga sub-pasar ini berkembang ke arah Idol Group menjadi cover
idol group juga yang dimana sebagai proses awal menuju menjadi idol. Banyak
yang lalu mencoba mengikuti “pertama” dengan big announcement dari
major-management lalu tak berakhir “langgeng” dengan sub-pasar dikarenakan
kesadarana bahwa sub-pasar sendiri berawal mengandalkan kekuatan dari
komunitas, semakin mereka memegang selera sebuah komunitas maka hasilnya mereka
bisa ke jepang dan membawakan lagu mereka sendiri (walaupun yang kejepang masih
ngover juga di sana, at least
they sing the song).
Saya akan
mengambil contoh pengalam empiris saya mengikuti dan mengamati pergerakan idol lokal di jogjakarta. Pada awalnya idol
lokal menampilan lagu yang bernuansa 48-an, ketika komunitas mulai masuk dan
mendekati dengan cara meminta membawakan lagu dari penampil lain. Pendekatan
awal dari komunitas inilah yang membuat dunia sub-pasar semakin lebih menarik
dan bervariasi. Meskipun demikian Monopoli terhadap sub-pasar masih terjadi
apabila hanya ada satu idol lokal yang menonjol. Saingan baru pasti akan muncul
tetapi keberlangsungan persaingan ini selalu di tentukan oleh komunitas.
Pergerakan
melawan berawal komunitas mulai bergerak untuk membentuk kompetitor di dalam
sub-pasar tersebut. Pergerakan yang berawal dan gencar dari bandung dan daerah
lain juga mulai bergambung kedalam sub-pasar tersebut. Apabila di lihat dari
sosial media memang yang punya teater sendiri unggul banyak, tetapi apabila
kita melihat dan masuk kedalam komunitas banyak hal mulai terbuka tentang
selera dan banyak macamnya.
Sekarang
kita bisa mendapati perlawanan antara kapitalis dan sosialis. Kapitalis mulai
gencar mengeksploitasi banyak macam hal dan para sosialis mulai mendekatkan
diri kepada para komunitas. Bukan permasalah mana yang lebih populer atau lebih
menguntungkan, para pencari hiburan juga butuh di hibur sebagaimana seorang
penggemar ingin di waro maupun dihibur. Setiap minggu menghibur memang
memberikan dampak yang lebih daripada menunggu event, menggaet fans dari luar
pun tinggal datang ke teater yang disediakan dan tinggal di hibur tak perlu
menunggu event. Tetapi dengan eksploitasi yang berasal dari peraturan untuk
mendatangkan keuntungan sehingga kedekatan dengan komunitas juga terhambat
mengakibatkan banyak hal, oke dengan bersalaman 10 detik mungkin bisa
mengurangi tetapi bukan berarti idol
bisa mengobrol bebas dan lepas dalam artian para member idol masih berada di
gimmick bukan manusia yang mendengarkan. Meinggalkan gimmcik untuk mencapia
komunitas juga bukan hal yang buruk tapi stay di gimmcik juga bukanlah hal yang
baik pula.
Sekarang
sub-pasar sudah tak terkontrol dengan gimmick, tapi kenyamana idol dengan
komunitas, sebuah simbiosis mutualisme. Lagu yang easy listening bernada fun
tapi bermakna posesif atau hal lainya juga sangat berpengaruh. Bukan masalah
cantik dan tak cantik lagi tapi permasalahan penyesuaian selera dengan
komunitas. Sub pasar sudah berubah, ini masalah adaptasi atau mati.
N.B: aku
gak tau apa-apa ini semua hasil empiris-koheren dan cerita banyak orang, saya
bukan pakar, saya hanya fans dan ini opini saya
In short term, aku setuju bruk, terbukti dari JKT yg makin limbung dan konser e ra payu. But in long term, ketoke cantik atau tidak cantik tetep akan menjadi kunci.
BalasHapusBtw sebagai pembaca setia gurameh gunung dot blogspot sejak 2012, kualitas tulisanmu munggah drastis, salut.
Overall nice bruk.
BalasHapusTapi nek pengenmu empiris, saranku pada pembahasan 'pergerakan sub-pasar idol/cover di tingkat akar rumput di daerah tertentu' paparkan ono idol/cover opo wae sing mampu membentuk pangsanya sendiri.
Tabik!
waduh, abot e mas.
BalasHapus